DK❤️ Dear Kiandra -1
by lizna_alma
PoV 3 (Omniscient)
___
Kiandra berjalan di gang sempit menuju ke dalam rumahnya yang berada di pemukiman padat penduduk, jam di pergelangan tangannya sudah menunjuk pukul 02.00 malam. Terlalu malam.
Gara-gara diajak ng-club sama anak-anak, jadi pulang malem lagi...
Untungnya Jakarta tidak pernah sepi, jam segini pun gang menuju rumahnya masih ramai. Buktinya tuh bapak-bapak masih nongkrong main kerambol'an.
"Neng Kian, baru pulang kerja jam segini?" tanya bapak Dery yang sedang duduk di pos ronda.
"Habis kerja diajak temen acara pak," jawab Kian sambil jalan mendekat.
"Gak takut pulang sendiri malam-malam neng?" tegur bapak yang lain.
"Mereka yang takut sama saya, pak," ucapnya sambil tertawa, mencomot kacang rebus dari wadah plastik yang berada di tengah pos, disamping papan kerambol dari kayu persegi.
"Iya benar, juara Pencak Silat dilawan," timpal pak RT yang sibuk bermain.
"Jagoan juga bang Ical, ya gak bang?" Sanggah Kian sambil melihat Ical yang sedang memainkan ponsel. Ical mendongak lalu tersenyum.
"Satu perguruan ya, muridnya Pak Kyai Basir. Kalian tuh cocok loh, kenapa gak kawin aja," ucap pak RT lagi yang diangguki bapak-bapak di pos ronda, Ical menatap Kiandra diam.
"Ck.ck. pak RT bahasanya kawin, kita masih dibawah umur... yang bener nikah pak. Entar dimarahin pacarnya bang Ical loh. Mba Citra.... hehe."
"Lah, lo pacaran sama Citra, Cal? Pinter cari pacar yaa... lo ama ponakan gw aja deh Kian, masih jomblo."
"Laah, tambah ngelantur aja pak RT, keponakan bapak masih sekolah! Udah ah pulang dulu bapak-bapak, nyamuknya banyak?"
"Yaaa," jawab para penggila kerambol itu, sejak tadi Ical hanya menatap Kiandra tanpa mengucapkan apa-apa.
Lampu rumah sudah padam, mungkin sang Mama sudah tidur. Kiandra memasukkan kunci rumahnya perlahan, mamahnya pasti tidak akan mengunci slot pintu kalau Kian belum pulang.
"Inget pulang lo?" suara sinis dari arah tangga terdengar, bersama dengan sosok tinggi yang sudah menapak di tangga terakhir rumah bercat biru itu.
"Bang, kapan pulang?" Tanya Kiandra pelan, menutup pintu lalu mengunci dan memasang slot.
"Lo dari mana jam segini baru pulang?" suara sinis itu berbicara lagi.
"Ada acara ultah temen," jawab Kian sambil mengambil botol mineral dingin dari kulkas lalu langsung menenggaknya, mata kakak lali-lakinya masih mengawasi gerakan Kian.
"Jadi ini kelakuan lo di rumah saat gw gak ada? Pulang malam bau alkohol. Jangan mentang-mentang bokap gak ada lo seenaknya! Masih ada gw yang ngawasin lo!"
"Emang gw ngapain sih? Gw gak suka mabuk kayak lo, gw tetep pulang walaupun telat," ucap Kian dengan wajah kesal kepada kakaknya, selalu saja seperti ini saat mereka bertemu.
"Bokap gw susah payah banting tulang jadi TKI di Amerika sana buat lo sama nyokap lo. Lo asik-asikan disini, hebat lo?"
"Gw kerja, nyokap gw jualan, duit transfer'an bokap juga lo yang terima. Masih bisa lo bilang gw sama nyokap enak-enakan disini? Lo yang enak-enakan!" geram Kian kesal.
"Kurang ajar lo!!"
"Kiandra, Revan... ada apa malam-malam ribut? Sudah jam dua malam, gak enak sama tetangga." mamah Kian keluar saat mendengar keributan di ruang makan.
"Urusi anak lo, pulang malam bikin malu."
"Yang sopan sama nyokap, dia juga nyokap lo," ucap Kian marah, menatap kesal pada kakaknya.
"Nyokap gw udah mati, nyokap lo kebetulan aja ada setelah bokap gw sendirian."
"Lo masih gak sadar siapa yang ngurus lo dari lo kecil? Nyokap gw... siapa yang ngurus lo sama Kak Sandra waktu bokap mutusin kerja di luar negri? Nyokap gw bang, orang yang lo tunjuk-tunjuk pakai tangan lo," teriak Kiandra marah, berdiri menghadap kakaknya.
"Sudah-sudah.... Kian, dia abang Kamu, jangan gak sopan," ucap sang ibu pelan mengelus punggung Kiandra yang tegang dengan napas naik turun, menahan emosi.
"Denger gak bang? Lo udah sakitin hatinya, tapi dia masih belain lo! Dasar gak tahu diri!"
"Kiandra.... sudah!" ucap lembut nan tegas wanita paruh baya itu membuat kalimat-kalimat yang sudah ada di mulut Kian hilang, Kian masih menatap marah pada kakaknya yang sama marah.
"Persetan!" ucap sinis sang kakak lalu pergi meninggalkan rumah, entah kemana lagi.
Tidak becus bekerja, kerjaannya hanya menghabiskan uang kiriman ayahnya saja.
"Lihat Ma, anak kesayangan Mama.... makin kesini makin kurang ajar kelakuannya," ucap Kian dengan lesu, harinya di tempat kerja sudah berat ditambah lagi masalah yang membuat emosinya turun naik.
"Sudah, gak usah diambil hati, dia baru turun kapal, masih capek." sang mama mengelus sayang kepala Kian.
"Lagian kenapa dia tinggal disini sih, udah dibeliin rumah gede di KG gak ditempatin, masih mau direbut juga rumah ini?"
"Husss jangan ngomong sembarangan, udah sana tidur. Anggi udah pulang?"
"Masih disana sama pacarnya, Kian mau mandi belum salat Isya."
"Udah malam, gak usah mandi, langsung wudu aja." Kian mengangguk, mana mungkin dia bilang habis minum air 'berkadar 5%', bisa dijewer kupingnya.
"Iyaaa, ya udah Mama tidur lagi gih, entar jam 4 bangun kan buat masak?"
"Ya sudah. Mama tidur, masih ngantuk, tadi warung tutup agak malaman." Mama Kian menguap lalu masuk ke dalam kamarnya.
Kian menenteng ranselnya masuk ke dalam kamarnya sendiri, bersiap untuk mandi lalu salat, entahlah salat wajibnya apa diterima jam segini....
Badannya lelah sekali... dia harus cepat tidur karena besok harus masuk pagi seperti yang diperintahkan Ibu Peni, akan ada pengumuman penting.
Uang sakunya sudah menipis, sedangkan gajian masih dua minggu lagi.
'Hadeehh coba tadi enggak ikut ke club, pasti enggak nguras kantongnya yang selalu tipis....'
Diantara teman-teman kantornya, mungkin hanya Kiandra yang kondisi ekonominya mengenaskan, seharusnya memiliki ayah yang bekerja sebagai TKI di negara adikuasa, hidupnya mapan dan sejahtera.
Tapi apa boleh buat, karena sang ayah kena hasut kakaknya bahwa anak bungsunya tidak sebaik yang diperlihatkan, membuat ayahnya menjadi dingin kepadanya.
Uang transferan yang biasanya dikirimkan khusus untuknya saja sudah dihentikan, hingga Kiandra hanya menunggu belas kasih kakaknya yang sepertinya punya dendam sendiri pada Kian.
Kuliah di universitas ternama impiannya pun kandas, Kian dimasukan ke kampus ecek-ecek dengan jurusan yang tidak dia inginkan.
Demi Tuhan, dia ingin menjadi seorang dokter. Impian yang sudah dirancangnya sejak dulu, belajar dengan sangat tekun hingga sejak SMP berturut-turut menjadi juara umum.
Dulu saat sang ayah pulang untuk perpanjang visa dan pasport, Kian akan menempel seperti perangko menceritakan apa yang telah diraih dan apa yang akan dia lakukan nanti, ayahnya akan membelai rambutnya dan berkata 'jadilah apapun yang kamu inginkan, ayah akan mendukung'.
Tapi semua pupus oleh kebohongan kakak laki-lakinya, foto-foto saat dia berada di pub menghadiri acara temannya, menjadi senjata sang kakak mengobral kepalsuan. Tentu saja ayahnya marah besar dan merasa Kian tidak bisa menjaga diri dan pergaulan.
Tapi disesali juga percuma, masa lalu tidak bisa dirubah, Kian juga sudah capek membela diri sendiri jika sang ayah masih tidak percaya...
Yang penting sekarang adalah bagaimana dia menjalani hidup, merawat sang mamah, anggap saja keluarganya hanya dia dan mamah....
Kian juga sudah bekerja walaupun sebagai kacung perusahaan furnitur, tapi Kian bisa bayar listrik, jajan mie rebus pake telor, punya tabungan yang tidak seberapa.
Bukannya hidup harus banyak bersyukur biar hidup enak dan tidur nyenyak....
💗👠👠
Komentar
Posting Komentar